Keganjilan Dalam Pemilihan Ketua Umum PSSI
Selasa, 22 Februari 2011
Jakarta - Banyak keganjilan dalam proses pemilihan anggota Komisi Eksekutif (Exco) PSSI periode 2011-2015, terutama untuk jabatan Ketua Umum PSSI.
Pada tahap pendaftaran bakal calon saja, sudah muncul keanehan. Semula, Arifin Panigoro nyaris tidak lolos verifikasi bakal calon Ketua Umum PSSI. Namun beberapa saat kemudian, PSSI meralatnya dan mengumumkan bahwa Arifin Panigoro lolos seleksi. Terlambatnya hasil verifikasi terhadap Arifin Panigoro tersebut, karena terjadi salah input data oleh kesekretariatan. Sungguh aneh, organisasi sekelas PSSI melakukan salah input terhadap data yang jumlahnya cuma 95 suara.
Keganjilan berikutnya adalah, Nurdin Halid mencalonkan kembali sebagai Ketua Umum PSSI untuk periode yang ketiga. Nampaknya tidak ada aturan, baik dalam Statuta FIFA maupun Statuta PSSI, yang membatasi masa jabatan Ketua Umum PSSI. Sehingga Nurdin Halid yang sudah menjabat Ketua Umum PSSI selama dua periode: 2003-2007 dan 2007-2011, dapat mencalonkan diri lagi.
Jabatan Presiden dan Kepala Daerah saja sudah dibatasi maksimal dua periode. Kenapa masa jabatan Ketua Umum PSSI tidak dibatasi? Pembatasan masa jabatan ini sangat penting untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan. Tidak adanya aturan yang membatasi masa jabatan Ketua Umum PSSI ini, selain terasa aneh dalam era demokrasi, tentu saja akan merepotkan pergantian pimpinan PSSI. Apalagi bila kepemimpinan PSSI yang mau diganti tersebut ternyata miskin prestasi.
Keganjilan lainnya adalah, Nurdin Halid dan Nirwan Bakrie ternyata tidak hanya mencalonkan sebagai Ketua Umum, tetapi juga untuk jabatan Wakil Ketua Umum PSSI periode 2011-2015. Tidak jelas kenapa pemilihan model seperti ini bisa diadopsi oleh PSSI, dimana satu orang bisa mencalonkan untuk dua jabatan sekaligus. Menilik Statuta Standar FIFA, pemilihan Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Komisi Eksekutif memang diatur secara sumir. Yaitu, setiap calon cukup diusulkan oleh satu orang anggota. Namun, dalam Statuta Standar FIFA itu tidak jelas diatur, apakah satu orang bisa mencalonkan diri sekaligus sebagai Ketua dan Wakil Ketua.
Keganjilan Utama
Selanjutnya, dengan mengacu pada Statuta FIFA, Statuta Standar FIFA, Standard Electoral Code FIFA, dan Statuta PSSI, akhirnya Komite Pemilihan mencoret George Toisutta dan Arifin Panigoro dari bursa calon Ketua Umum PSSI. Alasannya, George Toisutta tidak aktif dalam kegiatan PSSI selama lima tahun. Sedangkan Arifin Panigoro, karena menyelenggarakan Liga Primer Indonesia (LPI) yang dinilai ilegal oleh PSSI.
Namun lucunya, terhadap pencalonan Nurdin Halid, Komite Pemilihan tetap meloloskannya. Padahal, dalam Pasal 32 ayat (4) Standar Statuta FIFA jelas sekali diatur bahwa untuk dipilih sebagai anggota Komisi Eksekutif, mereka "...must not have been previously found guilty of a criminal offence .." Artinya, untuk menjadi anggota Komisi Eksekutif, termasuk Ketua Umum, tidak boleh pernah dinyatakan bersalah dalam kasus pidana. Faktanya, Nurdin Halid pernah dihukum selama dua tahun dalam kasus korupsi pendistribusian minyak goreng.
Lalu kenapa Nurdin Halid bisa lolos seleksi calon Ketua Umum PSSI? Rupanya, aturan yang sangat jelas dalam Pasal 32 ayat (4) Statuta Standar FIFA tersebut, diubah dalam Pasal 35 ayat (4) Statuta PSSI. Inti perubahannya, anggota Komisi Eksekutif "...harus tidak sedang dinyatakan bersalah atas suatu tindakan kriminal pada saat Kongres..." Makna rumusan tersebut tentunya berbeda jauh dengan rumusan pada Statuta Standar FIFA seperti di atas. Pemelintiran aturan inilah yang menjadi keganjilan utama dalam proses pemilihan Ketua Umum PSSI. Sekaligus melempangkan jalan bagi Nurdin Halid untuk mencalonkan diri sebagai Ketua Umum PSSI untuk ketiga kalinya.
Publik Tak Berdaya
Meskipun kekecewaan publik sudah menggunung terhadap pencalonan kembali Nurdin Halid, publik tetap tak berdaya. Hal ini karena hak untuk memilih Ketua Umum PSSI terletak pada peserta Kongres, bukan pada publik.
Sesuai Statuta PSSI, jumlah hak suara dalam kongres adalah 108 suara, yang terdiri dari 18 perwakilan dari Super Liga, 16 perwakilan dari Divisi Utama, 14 perwakilan dari Divisi Satu, 12 perwakilan dari Divisi Dua, 10 perwakilan dari Divisi Tiga, 33 perwakilan dari Pengurus Daerah, 1 perwakilan dari sepakbola Wanita, 1 perwakilan dari Futsal, 1 perwakilan dari Asosiasi Wasit, 1 perwakilan dari Asosiasi Pemain, dan 1 perwakilan dari Asosiasi Pelatih.
Merekalah yang berhak “memainkan bola” untuk memilih Ketua Umum PSSI. Sedangkan kita cuma jadi penonton. Politisasi sepakbola, menaikkan harga tiket seenaknya, dan amburadulnya penjualan tiket Piala AFF Suzuki 2010 yang lalu, seharusnya menjadi catatan bagi peserta Kongres. Begitu pula, kerusuhan antar suporter, masih tergantungnya pendanaan dari APBD, skandal suap, serta minimnya prestasi yang dicapai PSSI di era kepemimpinan Nurdin Halid, juga hal yang perlu dipertimbangkan oleh peserta Kongres.
Namun bagi publik yang menginginkan pergantian pimpinan PSSI, tidak bisa berharap kepada mereka. Sebab, dari 95 dukungan suara yang masuk sebanyak 81 suara masih mendukung Nurdin Halid. Apabila dukungan ini tetap konsisten sampai diselenggarakannya Kongres di Bali, bisa dipastikan Nurdin Halid akan menjabat kembali sebagai Ketua Umum PSSI periode 2011-2015.
Intervensi Pemerintah
Sebagai langkah pamungkas, kisruhnya pemilihan Ketua Umum PSSI ini dapat diintervensi oleh pemerintah. Misalnya, dengan membekukan kepengurusan PSSI yang dipimpin oleh Nurdin Halid. Hal ini dapat dilakukan karena berdasarkan peraturan perundang-undangan, pemerintah dalam hal ini Kementerian Pemuda dan Olahraga mempunyai kewenangan untuk mengatur, membina, dan mengawasi kegiatan olahraga, termasuk sepakbola.
Apabila intervensi ini ditempuh, FIFA diprediksi akan memberikan sanksi. Tapi siapa takut? Toh, FIFA sendiri tidak menindak tegas PSSI yang jelas-jelas telah memelintir norma Pasal 32 ayat (4) Statuta Standar FIFA, yang diduga untuk mempertahankan status quo kepengurusan Nurdin Halid.
Berkaca pada pengalaman Nigeria, yang pemerintahnya berani melakukan intervensi karena buruknya penampilan timnas Nigeria pada babak penyisihan Piala Dunia 2010, pemerintah Indonesia tentunya dapat melakukan hal serupa. Intervensi ini semata-mata untuk mereformasi PSSI dan agar olahraga sepak bola kita lebih lebih berprestasi di kancah internasional.
Namun sebelum langkah pamungkas tersebut diambil, kita masih berharap, Komisi Banding Komite Pemilihan yang saat ini sedang menangani proses permohonan banding George Toisutta dan Arifin Panigoro, dapat bertindak independen, adil, dan tidak menerapkan standar ganda. Sehingga diharapkan, keduanya dapat lolos dan bertarung dalam bursa calon Ketua Umum PSSI periode 2011-2015. Kita berharap pula, peserta Kongres masih memiliki hati nurani dan akal sehat dalam memilih calon Ketua Umum PSSI. Pertanyaannya kemudian, akankah terjadi pergantian Ketua Umum PSSI di Bali nanti? Kita lihat saja.
Sumber:
Yuli Harsono, at http://suarapembaca.detik.com/read/2011/02/23/105323/1576928/471/keganjilan-dalam-pemilihan-ketua-umum-pssi?882205471
Pada tahap pendaftaran bakal calon saja, sudah muncul keanehan. Semula, Arifin Panigoro nyaris tidak lolos verifikasi bakal calon Ketua Umum PSSI. Namun beberapa saat kemudian, PSSI meralatnya dan mengumumkan bahwa Arifin Panigoro lolos seleksi. Terlambatnya hasil verifikasi terhadap Arifin Panigoro tersebut, karena terjadi salah input data oleh kesekretariatan. Sungguh aneh, organisasi sekelas PSSI melakukan salah input terhadap data yang jumlahnya cuma 95 suara.
Keganjilan berikutnya adalah, Nurdin Halid mencalonkan kembali sebagai Ketua Umum PSSI untuk periode yang ketiga. Nampaknya tidak ada aturan, baik dalam Statuta FIFA maupun Statuta PSSI, yang membatasi masa jabatan Ketua Umum PSSI. Sehingga Nurdin Halid yang sudah menjabat Ketua Umum PSSI selama dua periode: 2003-2007 dan 2007-2011, dapat mencalonkan diri lagi.
Jabatan Presiden dan Kepala Daerah saja sudah dibatasi maksimal dua periode. Kenapa masa jabatan Ketua Umum PSSI tidak dibatasi? Pembatasan masa jabatan ini sangat penting untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan. Tidak adanya aturan yang membatasi masa jabatan Ketua Umum PSSI ini, selain terasa aneh dalam era demokrasi, tentu saja akan merepotkan pergantian pimpinan PSSI. Apalagi bila kepemimpinan PSSI yang mau diganti tersebut ternyata miskin prestasi.
Keganjilan lainnya adalah, Nurdin Halid dan Nirwan Bakrie ternyata tidak hanya mencalonkan sebagai Ketua Umum, tetapi juga untuk jabatan Wakil Ketua Umum PSSI periode 2011-2015. Tidak jelas kenapa pemilihan model seperti ini bisa diadopsi oleh PSSI, dimana satu orang bisa mencalonkan untuk dua jabatan sekaligus. Menilik Statuta Standar FIFA, pemilihan Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Komisi Eksekutif memang diatur secara sumir. Yaitu, setiap calon cukup diusulkan oleh satu orang anggota. Namun, dalam Statuta Standar FIFA itu tidak jelas diatur, apakah satu orang bisa mencalonkan diri sekaligus sebagai Ketua dan Wakil Ketua.
Keganjilan Utama
Selanjutnya, dengan mengacu pada Statuta FIFA, Statuta Standar FIFA, Standard Electoral Code FIFA, dan Statuta PSSI, akhirnya Komite Pemilihan mencoret George Toisutta dan Arifin Panigoro dari bursa calon Ketua Umum PSSI. Alasannya, George Toisutta tidak aktif dalam kegiatan PSSI selama lima tahun. Sedangkan Arifin Panigoro, karena menyelenggarakan Liga Primer Indonesia (LPI) yang dinilai ilegal oleh PSSI.
Namun lucunya, terhadap pencalonan Nurdin Halid, Komite Pemilihan tetap meloloskannya. Padahal, dalam Pasal 32 ayat (4) Standar Statuta FIFA jelas sekali diatur bahwa untuk dipilih sebagai anggota Komisi Eksekutif, mereka "...must not have been previously found guilty of a criminal offence .." Artinya, untuk menjadi anggota Komisi Eksekutif, termasuk Ketua Umum, tidak boleh pernah dinyatakan bersalah dalam kasus pidana. Faktanya, Nurdin Halid pernah dihukum selama dua tahun dalam kasus korupsi pendistribusian minyak goreng.
Lalu kenapa Nurdin Halid bisa lolos seleksi calon Ketua Umum PSSI? Rupanya, aturan yang sangat jelas dalam Pasal 32 ayat (4) Statuta Standar FIFA tersebut, diubah dalam Pasal 35 ayat (4) Statuta PSSI. Inti perubahannya, anggota Komisi Eksekutif "...harus tidak sedang dinyatakan bersalah atas suatu tindakan kriminal pada saat Kongres..." Makna rumusan tersebut tentunya berbeda jauh dengan rumusan pada Statuta Standar FIFA seperti di atas. Pemelintiran aturan inilah yang menjadi keganjilan utama dalam proses pemilihan Ketua Umum PSSI. Sekaligus melempangkan jalan bagi Nurdin Halid untuk mencalonkan diri sebagai Ketua Umum PSSI untuk ketiga kalinya.
Publik Tak Berdaya
Meskipun kekecewaan publik sudah menggunung terhadap pencalonan kembali Nurdin Halid, publik tetap tak berdaya. Hal ini karena hak untuk memilih Ketua Umum PSSI terletak pada peserta Kongres, bukan pada publik.
Sesuai Statuta PSSI, jumlah hak suara dalam kongres adalah 108 suara, yang terdiri dari 18 perwakilan dari Super Liga, 16 perwakilan dari Divisi Utama, 14 perwakilan dari Divisi Satu, 12 perwakilan dari Divisi Dua, 10 perwakilan dari Divisi Tiga, 33 perwakilan dari Pengurus Daerah, 1 perwakilan dari sepakbola Wanita, 1 perwakilan dari Futsal, 1 perwakilan dari Asosiasi Wasit, 1 perwakilan dari Asosiasi Pemain, dan 1 perwakilan dari Asosiasi Pelatih.
Merekalah yang berhak “memainkan bola” untuk memilih Ketua Umum PSSI. Sedangkan kita cuma jadi penonton. Politisasi sepakbola, menaikkan harga tiket seenaknya, dan amburadulnya penjualan tiket Piala AFF Suzuki 2010 yang lalu, seharusnya menjadi catatan bagi peserta Kongres. Begitu pula, kerusuhan antar suporter, masih tergantungnya pendanaan dari APBD, skandal suap, serta minimnya prestasi yang dicapai PSSI di era kepemimpinan Nurdin Halid, juga hal yang perlu dipertimbangkan oleh peserta Kongres.
Namun bagi publik yang menginginkan pergantian pimpinan PSSI, tidak bisa berharap kepada mereka. Sebab, dari 95 dukungan suara yang masuk sebanyak 81 suara masih mendukung Nurdin Halid. Apabila dukungan ini tetap konsisten sampai diselenggarakannya Kongres di Bali, bisa dipastikan Nurdin Halid akan menjabat kembali sebagai Ketua Umum PSSI periode 2011-2015.
Intervensi Pemerintah
Sebagai langkah pamungkas, kisruhnya pemilihan Ketua Umum PSSI ini dapat diintervensi oleh pemerintah. Misalnya, dengan membekukan kepengurusan PSSI yang dipimpin oleh Nurdin Halid. Hal ini dapat dilakukan karena berdasarkan peraturan perundang-undangan, pemerintah dalam hal ini Kementerian Pemuda dan Olahraga mempunyai kewenangan untuk mengatur, membina, dan mengawasi kegiatan olahraga, termasuk sepakbola.
Apabila intervensi ini ditempuh, FIFA diprediksi akan memberikan sanksi. Tapi siapa takut? Toh, FIFA sendiri tidak menindak tegas PSSI yang jelas-jelas telah memelintir norma Pasal 32 ayat (4) Statuta Standar FIFA, yang diduga untuk mempertahankan status quo kepengurusan Nurdin Halid.
Berkaca pada pengalaman Nigeria, yang pemerintahnya berani melakukan intervensi karena buruknya penampilan timnas Nigeria pada babak penyisihan Piala Dunia 2010, pemerintah Indonesia tentunya dapat melakukan hal serupa. Intervensi ini semata-mata untuk mereformasi PSSI dan agar olahraga sepak bola kita lebih lebih berprestasi di kancah internasional.
Namun sebelum langkah pamungkas tersebut diambil, kita masih berharap, Komisi Banding Komite Pemilihan yang saat ini sedang menangani proses permohonan banding George Toisutta dan Arifin Panigoro, dapat bertindak independen, adil, dan tidak menerapkan standar ganda. Sehingga diharapkan, keduanya dapat lolos dan bertarung dalam bursa calon Ketua Umum PSSI periode 2011-2015. Kita berharap pula, peserta Kongres masih memiliki hati nurani dan akal sehat dalam memilih calon Ketua Umum PSSI. Pertanyaannya kemudian, akankah terjadi pergantian Ketua Umum PSSI di Bali nanti? Kita lihat saja.
Sumber:
Yuli Harsono, at http://suarapembaca.detik.com/read/2011/02/23/105323/1576928/471/keganjilan-dalam-pemilihan-ketua-umum-pssi?882205471
1 komentar:
emang kaga beres tuh PSSI bubarin aja udah.
Posting Komentar